Senin, 09 Maret 2009

Sejarah Fotografi di Indonesia

Di Indonesia, penggunaan kamera pertama kali yang tercatat dalam sejarah belum jelas kapan. Tapi catatan sejarah menunjukkan seorang dari Eropa yang bernama Adolf Schaeffer datang ke Batavia dengan membawa kamera dengan lembaran peraknya. Tugasnya saat itu adalah membuat inventarisasi bergambar mengenai arca Hindu-Jawa.

Bagi Schaeffer, pekerjaan yang ditawarkan pemerintah kolonial tersebut bukan satu-satunya hal yang diabadikannya. Gambaran kehidupan di Jawa dan luar Jawa pun menjadi obyek menarik untuk diabadikannya. Gambar-gambar ini kemudian dijadikan pemerintah Belanda untuk memberikan gambaran mengenai negara yang jauh kepada masyarakat Negeri Belanda. Karya foto yang khas pada waktu itu adalah pemotretan Gusti Ngurah Ktut Jelantik, Raja Buleleng bersama putri dan pengawalnya.

Foto Borobudur yang ada di sebelah merupakan karya Adolf Schaeffer. Foto hasil order pemerintah kolonial ini diambil persisnya tahun 1844. Hasil gambar ini jugalah yang menjadi tonggak sejarah fotografi di Indonesia karena gambar di sebelah merupakan foto pertama yang diabadikan dengan kamera modern. (sumber klik di sini)

http://www.geheugenvannederland.nl/?/en/collecties/pioniersfotografie_uit_nederlands-indie/adolf_schaefer

Selanjutnya, pemerintah Belanda mulai memberi tempat khusus pada dunia fotografi di wilayah jajahannya teriutama di Indonesia. Untuk menujukkan keseriusannya didrikanlah Studio pertama yang dibuka di Batavia waktu itu bernama “Woodbury & Page” di Jalan Merdeka Selatan Jakarta (sekarang). Setelah itu semakin banyak juru foto yang bekerja pada pemerintahan kolonial.

Setelah itu dunia fotografi terus berkembang di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial. Pada Awal abad XX, Kassian Chepas menjadi satu-satunya juru foto lokal yang juga masih keturunan Jawa-Belanda. Karya fenomenal Chepas adalah foto-foto yang menggambarkan kehidupan di dalam tembok keraton, yang satu atau dua abad yang lalu menampakkan kemegahan dan kekuasaannya. Meski demikian kehidupan di keraton saat itu tetap terlihat sepi dan tunduk pada peraturan-peraturan kolonial.

Meski lahir pada jaman penjajahan, namun harus diakui bahwa hasil fotografi saat itu telah berhasil memberi gambaran Indonesia pada jamannya. Infomasi mengenai Hindia Belanda ini yang paling lengkap sekarang tersimpan di KIT (Konijnklijk Instituut voor de Troyen) di Amsterdam. Koleksi besar terdiri dari puluhan ribu obyek bersejarang semuanya dari bekas Hindia Belanda. Sebagian koleksinya sudah dikirim ke Badan Arsip Nasional RI di Jakarta. (berbagai sumber)

KASSIAN CEPHAS.....


Kassian Cephas (15 Februari 1844 - 1912) dapat dianggap sebagai pelopor fotografi Indonesia. Ia adalah seorang pribumi yang kemudian diangkat anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta Philipina Kreeft. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875.

Cephas lahir dari pasangan Kartodrono dan Minah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak angkat dari orang Belanda yang bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. Cephas banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah Christina Petronella Steven. Cephas mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860-an. Ia sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah sekitar tahun 1863-1875. Tapi berita kematian Cephas di tahun 1912 menyebutkan bahwa ia belajar fotografi kepada seseorang yang bernama Simon Willem Camerik.

Publikasi luas foto-foto Cephas dimulai pada tahun 1888 ketika ia membantu membuat foto-foto untuk buku karya Isaäc Groneman, seorang dokter yang banyak membuat buku-buku tentang budaya Jawa, yang berjudul: In den Kedaton te Jogjakarta. Pada buku karya Groneman yang lain: De Garebeg's te Ngajogjakarta, karya-karya foto Cephas juga ada disitu.

Dengan kamera barunya yang bisa dipakai untuk membuat "photographe instanee", Cephas mulai menjual karya-karya fotonya. Sejak itu karya-karyanya mulai dikenal dan dipakai sebagai suvenir atau oleh-oleh bagi para masyarakat elit Belanda ketika mereka akan pergi ke luar kota atau ke Eropa. Misalnya ketika JM. Pijnaker Hordijk, pemilik sewa dan seorang Vrijmetselaar terkemuka akan meninggalkan Yogyakarta, ia diberi hadiah album indah berisi kompilasi karya-karya foto Cephas dengan cover indah yang dilukis oleh Cephas sendiri dan bertuliskan "Souvenir von Jogjakarta". Album-album semacam itu yang berisi foto-foto sultan dan keluarganya juga kerap diberikan sebagai hadiah untuk pejabat pemerintahan seperti residen dan asisten residen. Keadaan seperti ini tentunya membuat Cephas dikenal luas masyarakat kelas tinggi, dan memberinya keleluasaan bergaul di lingkungan mereka.

Cephas mulai bekerja sebagai fotografer kraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengkubuwono VII. Karena kedekatannya dengan pihak kraton maka ia bisa memotret momen-momen khusus yang hanya diadakan di kraton semisal tari-tarian untuk kepentingan buku karya Groneman.

Cephas juga membantu pemotretan untuk penelitian monumen kuno peninggalan zaman Hindu-Jawa yaitu kompleks Candi Loro Jonggrang di Prambanan yang dilakukan oleh Archaeologische Vereeniging di Yogyakarta. Proyek ini berlangsung tahun 1889-1890. Dalam bekerja, Kassian Cephas banyak dibantu Sem, anak laki-lakinya yang paling tertarik pada dunia fotografi seperti ayahnya. Kassian Cephas memotret sementara Sem menggambar profil bangunannya.

Ia juga membantu memotret untuk lembaga yang sama ketika dasar tersembunyi Candi Borobudur mulai ditemukan. Ada sekitar 300 foto yang dibuat Cephas untuk penggalian ini. Pemerintah Belanda mengalokasikan dana 9000 gulden untuk penelitian ini. Cephas dibayar 10 gulden per lembar fotonya. Cephas mengantongi 3000 gulden (sepertiga dari seluruh uang penelitian). Jumlah yang sangat besar untuk ukuran waktu itu.

Cephas adalah pribumi satu-satunya yang berhasil menguasai alat peradaban modern, itu juga yang membuatnya diakui di kalangan golongan masyarakat kelas tinggi. Buktinya ia bisa menjadi anggota istimewa Perkumpulan Batavia yang terkenal itu. Tahun 1896 ia dinominasikan menjadi anggota KITLV (Lembaga Linguistik dan Antropologi Kerajaan) atas dedikasinya memotret untuk penelitian Archaeologiche Vereeniging. Ia benar-benar diterima menjadi anggota KITLV pada tanggal 15 Juni 1896. Ketika Raja Chulalongkorn dari Thailand berkunjung ke Yogyakarta tahun 1896, ia mendapat hadiah berupa tiga buah kancing permata. Bahkan Ratu Wilhelmina dari Belanda memberi penghargaan berupa medali emas Oranje-Nassau kepada Cephas pada tahun 1901.

Cephas sendiri sudah sejak tahun 1888 memulai prosedur untuk mendapatkan status "gelijkgesteld met Europeanen" atau "disetarakan dengan kaum Eropa" untuk dirinya sendiri dan anak-anak laki-lakinya: Sem dan Fares; suatu prosedur yang dimungkinkan oleh UU Kewarganegaraan Hindia Belanda pada masa itu.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

http://id.wikipedia.org/wiki/Kassian_Cephas


Dari Kamera Hertango Hingga Kamera Digital

YOGYAKARTA - Sekelompok anak berseragam SMA mengerumuni kamera Hertango buatan 1900. "Cara menggunakannya gimana?" tanya salah seorang di antara mereka. Agus Leonardus, fotografer senior asal Yogya sekaligus pemilik kamera kuno itu, dengan sabar memberi penjelasan.

Kamera kuno dari kayu setinggi lebih dari satu meter berpenutup kain hitam itu menyedot perhatian pengunjung pameran fotografi "Potret" di Bentara Budaya Yogyakarta, 17-26 November 2008. Peragaan itu tidak tuntas karena tak ada negatif film ukuran besar yang cocok untuk kamera Hertanggo. Maklum, sudah tak ada lagi yang menjualnya.

"Pameran ini mengedepankan sejarah fotografi dunia dan Indonesia," kata Hermanu, penyelenggara pameran dan pengelola Bentara Budaya Yogyakarta.

Puluhan kamera kuno hingga kamera digital yang sebagian besar koleksi Agus Leonardus ditata dalam empat lemari kaca di tengah ruang pamer. Ada juga seting studio foto zaman dulu, lengkap dengan kamera berkerudung hitam tadi.

Di dinding tergantung foto hasil jepretan fotografer dunia dan foto tokoh penting penemu fotografi. Pengunjung juga bisa menikmati foto bersejarah, seperti foto pertama di dunia karya Nicephore Niepce pada 1826 dan foto pertama bumi yang diambil dari luar angkasa oleh astronot Apollo 10 pada 1969.

Pengunjung pameran juga bisa menikmati beberapa foto fenomenal "kelas dunia", seperti foto gadis telanjang yang berlari ketakutan oleh serangan bom napalm pada perang Vietnam karya Nick Ut (1972). Juga foto dramatis eksekusi jalanan terhadap pejuang Vietkong oleh Kepala Polisi Saigon, Nguyen Ngoc Loan, karya Eddie Adams (1968).

Sedangkan perkembangan fotografi di Indonesia diwakili oleh dua sosok penting: Kassian Chepas dan Henri Cartier-Bresson. Kassian Chepas (1845-1912) adalah fotografer profesional pribumi Indonesia pertama. Sementara Henri Cartier-Bresson adalah fotografer kenamaan Prancis yang merekam momen penting awal berdirinya Republik Indonesia.

Kassian Chepas yang lahir di Yogyakarta 15 Januari 1845 adalah fotografer Keraton Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengku Buwono VII. Selain dokumentasi Keraton Yogyakarta, karya penting karya penerima penghargaan medali emas dari Ratu Belanda Wilhelmina tahun 1901 itu adalah foto relief Karmawibangga di kaki Candi Borobudur.

Adapun Henri Cartier hadir dengan foto dokumentasi parade militer di Yogyakarta, 18 Desember 1949, saat ibu kota pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, dan foto Bung Karno yang dielukan rakyat saat kembali ke Jakarta, 27 Desember 1949. HERU CN

Rabu, 04 Maret 2009

Fotografi Menyingkap Spirit Kebangkitan

JAKARTA - Fotografi tidak hanya menjadi saksi kejadian penting masa silam. Fotografi juga telah menyebar sebagai bentuk citra dalam media massa yang memberi konfirmasi legitimatif dan bisa menyulut semangat serta identitas baru bangsa kita.

Melalui fotografi, momen-momen terindah perjalanan bangsa dapat ditelusuri dan menjadi kenangan tak terlupakan bagi warisan generasi mendatang. Paling tidak, anak cucu kita akan tahu bagaimana kondisi perang waktu dulu serta dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.

Tepat pada momen peringatan hari ulang tahun kemerdekaan ke-63 Republik Indonesia, sekaligus seabad peringatan Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia, fotografi bisa menjadi kisah yang bisa diapresiasi dari sebuah subjektivitas para fotografer yang ada di belakang kamera. Hal itu terpampang dalam pameran foto Identitas untuk Kebangkitan yang digelar Galeri Foto Jurnalistik Antara Jakarta pada 15 hingga 25 Agustus 2008.

Selain himpunan ikon sejarah visual yang dibuat para fotografer IPPHOS (Indonesia Press Photo Service),kita juga disuguhi rangkaian foto-foto yang dibuat seorang fotografer Belanda Cas Oorthuys dalam kurun 1947, juga diterbitkan sebagai buku reportase foto pertama tentang Indonesia di Belanda pada tahun yang sama.

Ahli peneliti utama dari LIPI Asvi Warman Adam mengungkapkan, pada 17 Agustus 1945 suasana Jakarta terasa mencekam karena pasukan Jepang yang bersenjata lengkap masih sering berpatroli, dan bendera Hinomaru masih berkibar.

Dini hari, dua bersaudara Alexius Mendur (1907?1984), kepala desk foto kantor berita Jepang Domei dan Frans Soemarto yang bekerja untuk surat kabar Asia Raya berangkat ke Pegangsaan Timur 56 karena mereka memperoleh informasi akan ada peristiwa penting di sana. Menjelang proklamasi, Asia Raya adalah satu-satunya surat kabar di Jakarta yang diperbolehkan terbit oleh Jepang.

Peristiwa teramat penting ini hanya diberitakan sangat singkat dalam edisi koran tersebut pada 18 Agustus 1945, tanpa ada foto sama sekali. Pihak Jepang telah melakukan sensor. Untuk menghindari penggeledahan, Frans Mendur menyembunyikan plat film itu di dalam tanah di bawah pohon pada halaman belakang kantor Asia Raya. Foto-foto itu baru dimuat pada Februari 1946 pada harian Merdeka(yang didirikan 1 Oktober 1945).

"Fotografi itu bukan saja saksi sejarah,tetapi juga bukti sejarah. Bayangkan,bila tidak ada Frans Soemarto Mendur di sana, apakah proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dapat diyakini benar-benar terjadi?" kata Asvi, lulusan doktor sejarah dari EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales) Paris 1990 yang belakangan mengetahui bahwa plat film foto proklamasi itu tidak ditemukan lagi.

Namun, foto itulah yang direproduksi dalam buku-buku bersejarah sebagai saksi dan bukti bahwa kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan. Belakangan juga diketahui jumlah foto koleksi IPPHOS periode 1945?1949 berjumlah 22.700 buah. Namun, menurut Yudhi Soerjoatmodjo, hanya sekira 200 foto yang pernah dimuat dalam berbagai publikasi selama 50 tahun terakhir ini.

Berarti, hanya satu persen yang dilihat masyarakat. Dengan demikian,lanjut Asvi Warman Adam, gambaran itu jelas tidak mewakili apa yang terjadi dan terekam semasa revolusi. Padahal, 99 persen foto itu memberikan gambaran yang berbeda, bahkan bertolak belakang dari 1persen yang digunakan sebagai ilustrasi kronik sejarah. Foto-foto IPPHOS tidak hanya gambar elite nasional, tetapi juga orang biasa, petani, pedagang, buruh, perempuan, anakanak, bahkan ada pula pelacur, calo, dan pemadat.

Bukan hanya penguasa dan pemenang, tetapi juga mereka yang nasibnya tetap di bawah. Potret yang mengandung aspek human interest ada pada foto Bung Karno yang asyik menonton para sopir kepresidenan mereparasi mobil atau Amir Syarifuddin yang larut dalam membaca buku tragedi Romeo and Julietdi atas gerbong kereta api yang membawanya ke hadapan regu tembak.

Uniknya, pada foto anggota kabinet pertama di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, terdapat seekor anjing yang melintas di hadapan mereka. Begitu juga saat Bung Karno menerima Pak Kamid, warga desa di Sumedang. Di situ digambarkan Pak Kamid memeluk kaki Bung Karno dan Presiden RI pertama itu mengelus punggungnya.Begitulah sosok presiden yang dekat dengan rakyatnya. Tentu masih ada sederet kisah unik yang terekam dalam fotografi tersebut.

Menkominfo Mohammad Nuh yang membuka pameran fotografi tersebut mengatakan, karya fotografi akan menjadi cermin bagi masyarakat Indonesia dalam menghayati nilai-nilai perjuangan bangsa dan bagaimana generasi muda mengisi nilai-nilai perjuangan tersebut.Tak hanya itu, di sini juga dipamerkan 19 foto sekaligus video perjuangan dan kemajuan Malaysia. Harapannya, dapat mempererat kerja sama dan menumbuhkan saling pengertian kedua bangsa serumpun ini.(cdr) (sindo//srn)

MENDUR BERSAUDARA & KANTOR BERITA FOTO IPPHOS

Foto-foto sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang banyak dimuat dalam buku-buku sejarah, sebagian besar adalah hasil rekaman/koleksi dokumentasi Kantor Berita Foto Indonesia atau IPPHOS walaupun secara resmi berdiri sejak tanggal 2 Oktober 1946 dan didirikan oleh kakak-beradik Alexius Impurung Mendur (1907 – 1984) dan Frans Soemarto Mendur (1913 – 1971), serta kakak-beradik Justus dan Frans ‘Nyong’ Umbas: Alex Mamusung dan Oscar Ganda, namun sesungguhnya, pergulatan politik dan profesionalme mereka sudah berlangsung sejak tahun 1920-an, pada awal-awal pergerakan nasionalisme Indonesia. Ketika rakyat Indonesia mengambil keputusan untuk menjadi bangsa yang merdeka, para fotografer IPPHOS bersikap untuk berada di pihak Republik, sebuah pilihan yang tidak semudah yang kita duga. Sebagai profesional yang sudah memiliki karir fotografer di media-media cetak ternama di zaman Hindia-Belanda dan Jepang, sebenarnya jauh lebih mudah bagi mereka untuk terus bekerja pada kekuatan asing. Lebih-lebih sebagai etnis Minahasa yang dianggap dekat dengan bangsa Belanda, baik dari segi historis, budaya maupun agama, mereka harus berjuang lebih keras untuk membuktikan komitmennya dibanding suku-suku yang lain di Indonesia. IPPHOS memiliki 2 perwakilan – satu di kota diplomasi Jakarta, dan satu lagi di kota perjuangan Yogyakarta, dijalankan oleh Frans Mendur, yang terkenal gesit, pemberani dan bergaya kerakyatan. Sementara itu, Alex Mendur bersama ‘Nyong’ Umbas berada di Jakarta. Dari sisi fotografi, apa yang dilakukan Alex mendur dan rekan-rekannya, bukan saja menghilangkan suasana kaku dan berjarak yang begitu terasa pada fotografi Hindia-Belanda, tapi juga segala bentuk diskriminasi sosial. Dalam bidikan mereka, manusia Indonesia menjadi utuh, tersenyum, bahkan berdiri tegap berdampingan dengan manusia-manusia dari belahan bumi lainnya. Ia tidak lagi sekedar bayang-bayang buram dalam potret-potret ‘tempo doeloe’ yang eksotis.


OORTHUYS, CAS (PARUS BERNARDUS)

Lahir di Leiden, Belanda, pada tanggal 1 November 1908, Cas Oorthuys adalah seorang fotografer Belanda, yang mulai tertarik kepada dunia fotografi pada tahun 1930, pada saat dia tidak mendapat pekerjaan lagi sebagai seorang arsitek. Pelajaran fotografi pertama, diperoleh dari seorang produser film, Joris Ivens (b 1898), sesudah keterlibatannya dalam sebuah partai sosialis dan asosiasi buruh dibidang fotografi. Kesan yang dapat diambil dari foto-foto pertama Cas, yang dapat dilihat pada majalah Afweer ont, adalah kesan ‘straight forward photo-reportage’. Sedangkan foto-foto lainnya, menekankan kepada emosi individu, dengan menghindari sikap yang dibuat-buat. Cas juga pernah menerbitkan foto berseri pada saat Perang Dunia II, dengan tema-tema seperti ‘Lapar’, yang dikemas dan dipublikasikan dalam buku yang berjudul 1944-45: Het laatste jaar (Amsterdam, 1970). Setelah perang dunia berakhir, Cas Oorthuys mempublikasikan beberapa buku yang memuat karya-karyanya termasuk diantaranya Rotterdam: Dynamische staad (Amsterdam, 1959), a combination of architectural photography and reportage dan Mensen ‘people’ Amsterdam, 1969, yang merupakan kumpulan hasil karya-karya terbaiknya selama 20 tahun. Cas Oorthuys meninggal pada 22 Juli 1975 di Amsterdam.

Kamis, 05 Februari 2009

"SaaT SejaraH aDa Di TangaN SanG FotO JurnaliS"

Siang itu, di tengah teriknya sang surya, seorang lelaki tua renta, berusia 72 tahun, terlihat sedih, saat menyusuri kembali tempat bersejarah itu. Tepatnya di jalan Hayam Wuruk. 30 - kota, sebuah bangunan yang punya nilai sejarah pernah berdiri kokoh. Dulunya, di tempat inilah dia dan para jurnalis foto legendaris lainnya, pernah berkumpul untuk menyetak dan menyebarluaskan foto hasil jebretan mereka ke berbagai media cetak di Indonesia bahkan mancanegara.

Saat menatap tempat itu, matanya mulai berkaca-kaca. Dia tak menyangka, kalo bangunan bersejarah tersebut, akhirnya harus rata dengan tanah. Kini, lokasi itu hanya menjadi lahan parkir, yang di sisi kanannya berdiri sebuah bangunan megah dengan nama “Bank Ganesha”. “Dulu, presiden Soekarno dan Soeharto pernah menjadikan tempat ini sebagai bangunan bersejarah. Tapi, ntah kenapa, tiba-tiba saja keluar surat yang menyatakan tempat ini telah beralih ke pihak lain. Kami sangat shock karenanya. Tapi kami gak bisa berbuat apa-apa.”, tuturnya lirih, seiring derai air mata yang turun membasahi pipi. Lelaki tua, yang tak tak lain adalah Piet Mendur -keponakan Frans Mendur, seorang fotografer legendaris yang mengabadikan peristiwa detik-detik proklamasi di tahun 1945-, menjadi genarasi terakhir yang masih mengalami semua peristiwa bersejarah itu.

Awalnya dia gabung di IPHHOS (Indonesia Press Photo Services; red), karena tertarik dengan keajaiban fotografi dan cerita-cerita petualangan sang paman. Berbekal pengetahuan fotografi seadanya, Piet mulai mengabadikan beberapa moment penting. Seiring kemampuan memotretnya yang semakin baik, dia pun tertarik untuk bergabung di IPHHOS pada tahun 1953.

Kini, di usianya yang mulai uzur, tak banyak yang bisa di perbuat. Menikmati masa tua di daerah Depok sambil bercengkrama dengan para cucu, membuatnya bisa mensyukuri hidup. Sesekali, dia terlihat hilir mudik di lantai dua Perpustakaan Nasional RI, untuk mendidentifikasi foto-foto koleksi IPHHOS, yang telah bercerai berai tanpa tanggal. Atau, di suatu kesempatan, masih banyak pihak yang mengundangnya sebagai pembicara di berbagai seminar kesejarahan ataupun koleksi foto-foto tua.

******
Dulunya di jalan Molinvliet Oost (kini Hayam Wuruk: red) 30 ini, berdiri sebuah kantor kontraktor Belanda. Dan, sejak Jepang masuk menjajah Indonesia, bangunan ini mulai tak ter urus. Akhirnya bangunan ini pun menjadi kosong tak berpenghuni. Selanjutnya, ketika Jepang kalah terhadap sekutu, gedung ini mulai digunakan untuk berkumpulnya para juru photo yang pro kemerdekaan. Banyak diantara mereka yang menyembunyikan klise dan hasil cetak foto mereka di tempat ini.

Ya, sebagian dari mereka (para fotojurnalis; red), telah hilang di telan jaman. Kini, tinggal “Piet Mendur” (72 tahun) dan “Meiti Mendur” (70 tahun) yang masih tersisa. Saat krisis moneter di tahun 1997 mengoyak-ngoyak regulasi keuangan kita, dan inflasi seolah tak terelakkan. Saat itulah mereka yang setia dengan payung IPHHOS (Indonesia Press Photo Services) mulai mengalami kesulitan financial. Sehingga, ribuan bahkan puluhan ribu klise hasil dokumentasi mereka, mulai terbengkalai. Untungnya pada tahun 1999, Perpustakaan Nasional RI, masih berbaik hati untuk menangani koleksi bersejarah tersebut, walau dengan konpensasi harga yang tak berimbang. “Sekarang saya sudah lega, karena koleksi bersejarah milik IPHHOS, sudah ada yang merawat!”, ujur Meity disela-sela perbincangan kami.


Mungkin kita masih ingat saat-saat dramatik itu. Saat dimana pengakuan kedaulatan itu bermula. Saat dimana kita (baca: bangsa Indonesia) menyatakan kemerdekaan atas republik ini. Menjadi bangsa yang merdeka, lepas dari semua belenggu penindasan.


Kisah itu sendiri dimulai selepas Subuh, ketika dua orang fotografer yang bersaudara atas niat sendiri-sendiri meninggalkan rumah mereka menuju jalan Pegangsaan Timur nomor 56. Alex Mendur –ayah Meiti Mendur- yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei mengetahui bahwa akan ada peristiwa penting di kediaman Soekarno kala itu. Demikian pula halnya dengan sang adik, Frans Soemarto Mendur, yang mendapatkan keterangan serupa dari sumbernya di harian Jepang Asia Raya.


Rute yang masing-masing mereka ambil pagi itu sunyi-senyap, tapi bukan tanpa marabahaya. Kendati beberapa hari yang lalu negeri Matahari Terbit menyatakan kalah dalam Perang Pasifik, baru sedikit orang di kepulauan Indonesia yang mengetahui hal ini. Radio tetap di segel. Bendera Hinomaru terus berkibar di mana-mana. Patroli Jepang masih berkeliaran dengan senjata lengkap dan perangai yang lebih galak lagi dibanding biasanya. Sepanjang jalan keduanya pun terpaksa melangkah dengan mengendap-endap.

Saat mereka tiba di tujuan, sekitar jam 5 pagi, suasana di rumah Soekarno "tidak ribut, tidak meriah. Sopan dan tenang. “Menunggu kemungkinan tindakan représailles (pembalasan) dari tentara Jepang." Demikian kenang seorang pelajar putri yang hadir hari itu. Di sana telah berkumpul pula tokoh seperti Mohamad Hatta dan S.K. trimurti, selain beberapa anggota Pembela Tanah Air (PETA) dan masyarakat biasa. Jumlahnya tidak banyak, karena kejadian yang akan bergulir pada hari itu memang tidak disebarluaskan. Kakak-beradik Mendur yang baru bertemu saat itu malah merupakan satu-satunya juru foto yang hadir. Semua menanti.

Ketika matahari bergerak naik, Soekarno di dampingi Hatta akhirnya menampakkan diri untuk membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Alex dan Frans Mendur pun segera menjalankan profesinya, mengabadikan peristiwa bersejarah tersebut dengan kamera Leica mereka.

Pada saat itulah, di Jakarta, pada pukul 10 pagi, tanggal 17 Agustus 1945, sang fotojurnalis Indonesia lahir.


**********

Tak banyak yang menyangka, kalo foto-foto sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang banyak dimuat dalam buku-buku sejarah sebagian besar adalah hasil rekaman/koleksi dokumentasi Kantor Berita Foto IPPHOS. Karya para wartawan foto pejuang yang sejak dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Inddonesia pada 17 Agustus 1945 dengan penuh semangat telah bertekad untuk ikut menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia berjuang bersama rekan-rekan pejuang lainnya dengan bersenjatakan kamera foto.

Untuk mewadahi keinginan para fotojurnalis itu, sebuah paguyuban pun dibentuk. Mereka sepakat untuk membentuk sebuah biro foto dengan nama IPHHOS. Selanjutnya kantor Berita Foto IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) secara resmi berdiri sejak tanggal 2 Oktober 1946, oleh kakak-beradik Alexius Impurung Mendur (1907-1984) dan Frans Soemarto Mendur (1913-1971), serta kakak-beradik Justus dan Frans "Nyong" Umbas; Alex Mamusung dan Oscar Ganda. Namun sesungguhnya IPPHOS telah bergerak jauh sebelumnya yaitu pada awal tahun 1945, membantu perjuangan dengan jalan menyebarluaskan foto-foto perjuangan hasil liputannya melalui media massa lokal maupun internasional.


Lantas, ketika tiba saatnya rakyat Indonesia mengambil keputusan untuk menjadi bangsa yang merdeka para fotografer IPPHOS bersikap untuk berada di pihak Republik, sebuah pilihan yang tidak semudah yang kita duga. Sebagai profesional yang sudah memiliki karir sebagai fotografer di media-media cetak paling utama di zaman Hindia-Belanda dan Jepang, sebenarnya jauh lebih gampang bagi mereka untuk terus bekerja pada kekuatan asing. Ditambah lagi, sebagai etnis Minahasa yang dianggap dekat dengan bangsa Belanda baik dari segi historis, budaya maupun agama, mereka harus berjuang lebih keras untuk membuktikan komitmennya dibanding suku-suku yang lain di Indonesia.


Yang menarik, keberpihakan Alex Mendur dan kawan-kawan pada perjuangan kemerdekaan tidak serta-merta menjadikan mereka alat pemerintah RI. Berbeda dari Antara dan BFI yang bermula sebagai lembaga swasta tapi kemudian menempatkan dirinya dibawah naungan Kementerian Penerangan RI. IPPHOS sejak pertama didirikan hingga detik ini terus bertahan sebagai kantor berita yang independent.


Di satu sisi, ini menyangkut risiko yang tidak kecil dari segi ekonomi dan politik. Alex dan kawan-kawan, misalnya, tidak menerima gaji tetap dari pemerintah sebagaimana halnya Antara dan BFI. IPPHOS juga harus berjuang sendirian di Jakarta ketika Antara dan BFI turut hijrah mengikuti pemerintah RI ke Yogyakarta selama kurun waktu 1946-1949. Di sisi lain, strategi IPPHOS untuk memiliki dua perwakilan --satu di kota diplomasi Jakarta, satunya lagi di kota perjuangan Yogyakarta-- memperlihatkan kematangan pribadi dan profesionalisme para pendirinya yang mendapat gemblengan di penerbitan besar macam harian Java Bode dan majalah Wereld Nieuws en Sport in Beeld di tahun 1920-1930-an.

Di Yogyakarta, IPPHOS dijalankan oleh Frans Mendur yang terkenal gesit, pemberani dan bergaya kerakyatan. Foto-fotonya, yang memperlihatkan berbagai pertempuran dan kehidupan sehari-hari di wilayah Republik yang dikepung Belanda, menjadi salah satu senjata yang paling ampuh bagi perjuangan RI di dunia internasional. Sementara itu, Alex Mendur bersama "Nyong" Umbas yang luwes berbahasa dan bertata-krama a la Belanda bukan cuma bergaul dan meliput tokoh-tokoh Republik di Jakarta seperti Bung Sjahrir, tapi juga politikus, perwira militer, wartawan dan masyarakat awam di pihak lawan.

Dengan pilihan ini, sekali lagi IPPHOS mengambil risiko yang lebih besar dibanding kantor berita lainnya, karena Alex Mendur dan kawan-kawan lantas juga harus menghadapi berbagai tudingan sebagai wartawan yang "bermuka dua" dan "komersil" dari rekan-rekannya sesama juru kamera "kiblik" (Republik). Tapi, yang dilupakan banyak pejuang Indonesia ialah bahwa strategi IPPHOS itu justru sesuai dengan yang diterapkan oleh pemerintah RI sendiri. Seperti yang disinyalir sejarawan Robert Cribb, "ciri yang paling penting dari kampanye Republik di Jawa Barat adalah tidak adanya tuntutan yang nyata bagi para pengikutnya, selain loyalitas pribadi secara diam-diam. Tiap tindakan yang mengganggu kekuasaan Belanda merupakan suatu sumbangan yang diterima dengan senang hati. Bersikap tidak aktif berarti menyebabkan Belanda terus menduga-duga; bekerja untuk Belanda berarti mengifiltrasi musuh."

Harus diakui bahwa di tengah-tengah embargo politik dan ekonomi yang dilakukan Belanda terhadap kita saat itu, Mendur dan Umbas bersaudara justru bukan cuma memperlihatkan kedewasaan politik di atas wartawan foto Republik lainnya, tapi juga telah memilih taktik jitu yang terbukti menjamin kelangsungan hidupnya.

Dengan cara ini, mereka bisa mengirim materi foto ke kantong-kantong perjuangan, sekaligus menyelamatkan foto-fotonya dari sensor Belanda. IPPHOS menjadi satu-satunya kantor berita Indonesia yang berhasil menyelamatkan nyaris seluruh koleksinya, walaupun kantor mereka, seperti halnya Antara dan BFI, beberapa kali diserbu tentara Belanda. Alhasil, tidak ada satupun lembaga di Indonesia yang bisa mendekati keunikan, kekayaan dan orisinalitas foto-foto Alex Mendur dan kawan-kawan; koleksi IPPHOS merupakan satu-satunya karya visual yang paling penting yang kita miliki di Indonesia sekarang. Sementara sejak tahun 1950 foto-foto Antara dan BFI sudah tinggal debu, IPPHOS masih beroperasi dan menyimpan seperempat juta negatif asli.

Setengah abad kemudian, keberadaan koleksi itu menjadi semakin penting. Pertama karena sepanjang lima puluh tahun terakhir ini sangat sedikit sekali foto-foto zaman kemerdekaan yang bisa dilihat umum. Faktanya, karya para juru foto Republik yang pernah diterbitkan pemerintah atau swasta, baik untuk bacaan umum maupun kalangan akademis, jumlahnya tak sampai 200-an gambar, yang terus diulang-ulang pemakaiannya dari satu publikasi ke publikasi lainnya. Bila dihitung dari sekitar 22.000 negatif IPPHOS yang berasal dari kurun waktu 1945-1949 saja, jumlah itu berarti tak sampai 1%-nya!


Yang lebih mengejutkan lagi 99% foto karya Alex Mendur dan kawan-kawan yang belum pernah dipublikasikan itu justru memperlihatkan sebuah pandangan yang sangat bertentangan dengan gambaran yang disuguhkan oleh buku-buku sejarah dan kronik resmi tersebut.Sebagian besar adalah mengenai manusia biasa, petani, pedagang, buruh, wanita, anak-anak, dan tentara rendahan, bahkan ada pula pelacur, calo dan pemadat. Banyak yang menggambarkan kaum Republik, tapi tidak sedikit pula yang memperlihatkan orang-orang Belanda. Dalam kesemuanya, bahkan dalam sebagian besar potret para pemimpin, yang ditekankan adalah sisi mereka yang manusiawi.


Dari sinilah, misalnya, lahir foto Bung Karno yang asyik menonton para supir kepresidenan mereparasi mobil, juga sosok Amir Syarifuddin yang larut dalam tragedi Romeo and Juliet-nya Shakespeare di atas gerbong kereta yang membawanya ke hadapan regu tembak. Dari sini kita diajak merenung betapa warga Indo-Belanda bekas tawanan Jepang yang akan dipulangkan sama menderita dan berharapnya seperti keluarga campuran yang baru tiba di Tanjung Priok.


Foto-foto itu membuktikan betapa heroisme bukan hanya milik orang-orang besar dengan tindakan-tindakan besar mereka, atau cuma terjadi pada orang Indonesia saja, tapi juga berlaku bagi semua manusia yang di tengah-tengah badai sejarah yang menyeret mereka masih harus pula bergulat dengan kemanusiaannya yang boleh jadi sepele dan konyol --melawan lapar dan dahaga, mengatasi rasa takut dan bosan. Dan, itu membawa kita kepada hakekat yang paling penting bagi sebuah pengabdian dan idealisme.


Dan saat ini koleksi foto IPPHOS dirawat dan dilestarikan di Perpustakaan Nasional RI Sub Bidang Reproduksi Jl. Salemba Raya No. 28A jakarta Pusat Gedung Blok E Lt. 6