Rabu, 04 Maret 2009

Fotografi Menyingkap Spirit Kebangkitan

JAKARTA - Fotografi tidak hanya menjadi saksi kejadian penting masa silam. Fotografi juga telah menyebar sebagai bentuk citra dalam media massa yang memberi konfirmasi legitimatif dan bisa menyulut semangat serta identitas baru bangsa kita.

Melalui fotografi, momen-momen terindah perjalanan bangsa dapat ditelusuri dan menjadi kenangan tak terlupakan bagi warisan generasi mendatang. Paling tidak, anak cucu kita akan tahu bagaimana kondisi perang waktu dulu serta dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.

Tepat pada momen peringatan hari ulang tahun kemerdekaan ke-63 Republik Indonesia, sekaligus seabad peringatan Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia, fotografi bisa menjadi kisah yang bisa diapresiasi dari sebuah subjektivitas para fotografer yang ada di belakang kamera. Hal itu terpampang dalam pameran foto Identitas untuk Kebangkitan yang digelar Galeri Foto Jurnalistik Antara Jakarta pada 15 hingga 25 Agustus 2008.

Selain himpunan ikon sejarah visual yang dibuat para fotografer IPPHOS (Indonesia Press Photo Service),kita juga disuguhi rangkaian foto-foto yang dibuat seorang fotografer Belanda Cas Oorthuys dalam kurun 1947, juga diterbitkan sebagai buku reportase foto pertama tentang Indonesia di Belanda pada tahun yang sama.

Ahli peneliti utama dari LIPI Asvi Warman Adam mengungkapkan, pada 17 Agustus 1945 suasana Jakarta terasa mencekam karena pasukan Jepang yang bersenjata lengkap masih sering berpatroli, dan bendera Hinomaru masih berkibar.

Dini hari, dua bersaudara Alexius Mendur (1907?1984), kepala desk foto kantor berita Jepang Domei dan Frans Soemarto yang bekerja untuk surat kabar Asia Raya berangkat ke Pegangsaan Timur 56 karena mereka memperoleh informasi akan ada peristiwa penting di sana. Menjelang proklamasi, Asia Raya adalah satu-satunya surat kabar di Jakarta yang diperbolehkan terbit oleh Jepang.

Peristiwa teramat penting ini hanya diberitakan sangat singkat dalam edisi koran tersebut pada 18 Agustus 1945, tanpa ada foto sama sekali. Pihak Jepang telah melakukan sensor. Untuk menghindari penggeledahan, Frans Mendur menyembunyikan plat film itu di dalam tanah di bawah pohon pada halaman belakang kantor Asia Raya. Foto-foto itu baru dimuat pada Februari 1946 pada harian Merdeka(yang didirikan 1 Oktober 1945).

"Fotografi itu bukan saja saksi sejarah,tetapi juga bukti sejarah. Bayangkan,bila tidak ada Frans Soemarto Mendur di sana, apakah proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dapat diyakini benar-benar terjadi?" kata Asvi, lulusan doktor sejarah dari EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales) Paris 1990 yang belakangan mengetahui bahwa plat film foto proklamasi itu tidak ditemukan lagi.

Namun, foto itulah yang direproduksi dalam buku-buku bersejarah sebagai saksi dan bukti bahwa kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan. Belakangan juga diketahui jumlah foto koleksi IPPHOS periode 1945?1949 berjumlah 22.700 buah. Namun, menurut Yudhi Soerjoatmodjo, hanya sekira 200 foto yang pernah dimuat dalam berbagai publikasi selama 50 tahun terakhir ini.

Berarti, hanya satu persen yang dilihat masyarakat. Dengan demikian,lanjut Asvi Warman Adam, gambaran itu jelas tidak mewakili apa yang terjadi dan terekam semasa revolusi. Padahal, 99 persen foto itu memberikan gambaran yang berbeda, bahkan bertolak belakang dari 1persen yang digunakan sebagai ilustrasi kronik sejarah. Foto-foto IPPHOS tidak hanya gambar elite nasional, tetapi juga orang biasa, petani, pedagang, buruh, perempuan, anakanak, bahkan ada pula pelacur, calo, dan pemadat.

Bukan hanya penguasa dan pemenang, tetapi juga mereka yang nasibnya tetap di bawah. Potret yang mengandung aspek human interest ada pada foto Bung Karno yang asyik menonton para sopir kepresidenan mereparasi mobil atau Amir Syarifuddin yang larut dalam membaca buku tragedi Romeo and Julietdi atas gerbong kereta api yang membawanya ke hadapan regu tembak.

Uniknya, pada foto anggota kabinet pertama di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, terdapat seekor anjing yang melintas di hadapan mereka. Begitu juga saat Bung Karno menerima Pak Kamid, warga desa di Sumedang. Di situ digambarkan Pak Kamid memeluk kaki Bung Karno dan Presiden RI pertama itu mengelus punggungnya.Begitulah sosok presiden yang dekat dengan rakyatnya. Tentu masih ada sederet kisah unik yang terekam dalam fotografi tersebut.

Menkominfo Mohammad Nuh yang membuka pameran fotografi tersebut mengatakan, karya fotografi akan menjadi cermin bagi masyarakat Indonesia dalam menghayati nilai-nilai perjuangan bangsa dan bagaimana generasi muda mengisi nilai-nilai perjuangan tersebut.Tak hanya itu, di sini juga dipamerkan 19 foto sekaligus video perjuangan dan kemajuan Malaysia. Harapannya, dapat mempererat kerja sama dan menumbuhkan saling pengertian kedua bangsa serumpun ini.(cdr) (sindo//srn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar